Tuan pemilik rinduku.
Siapa lagi kalau bukan kamu?
Surat ini untukmu, sayang. Untuk pertama kalinya aku menuliskan sesuatu tentangmu. Dan tentu saja untukmu. Sudah lama ingin kulakukan, tetapi selalu urung karena sebelumnya aku lebih suka membayangkanmu ketimbang menuliskanmu. Ternyata keduanya sama; membuatku tersenyum saat melakukannya.
Kamu harus tau, beberapa hari ini aku sangat merindukanmu. Entah kenapa. Mungkin karena sudah sebulan lebih tak ada temu di antara kita? Atau karena rindu memang hobi baruku setelah bertemu denganmu? Entahlah.
Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu? Saat itu aku bahkan tak membayangkan bahwa kita dapat melangkah sejauh ini. Jujur saja, awalnya aku mengira kamu orang yang terlampau egois untuk bisa aku pahami.
Tidak. Aku salah. Ternyata saat itu kita hanya butuh waktu untuk saling mendengarkan dan memahami.
Kemudian waktu berjalan begitu cepat, bukan? Sudah hampir setahun aku mengenalmu sebagai kekasih. Telah banyak yang terjadi dalam rentang waktu tersebut. Bahkan Tuhan memberiku kesempatan mendampingimu untuk beberapa peristiwa penting. Dari revisi, sidang skripsi sampai mendampingimu saat wisuda di depan orang tuamu. Terimakasih atas segala bahagia yang tak mungkin kulupa.
Tuan pemilik rinduku.
Taukah kamu, bahkan saat kita tak berjarak, aku masih merindukanmu?
Kadang rindu memang tak bisa dimengerti dengan nalar, hanya bisa dirasa dengan hatimu.
Ah! Tadinya kuharap rinduku sedikit berkurang saat menuliskannya. Kini aku justru tambah merindukanmu. Menyebalkan!
Oiya. Setelah surat yang kukirim ini sampai padamu dan kamu baca, tolong jangan tertawa atau menganggapnya terlalu berlebihan.
Aku hanya menulis apa yang ingin kusampaikan padamu. Sungguh. Aku rindu kamu.
Sudah, ya.
Masakanku gosong karena kutinggal menuliskan beberapa paragraf surat ini. Hih.
Sampai jumpa bulan depan, sayang.