Selamat Ulang Tahun, Dinda
4/24/2014 01:26:00 AM
Sepulang kantor aku menyempatkan
diri mengunjungi toko kue favoritku. Hanya sekedar membeli beberapa potong kue
atau coklat hangat; seperti biasa. Sesampainya di sana, mataku bekerja
mencari tempat duduk kosong, namun tak ku temukan. Sampai ketika perhatianku
tersita ke satu sudut toko kue ini. Seorang ibu duduk dengan kue tart lengkap
dengan lilinnya yang menyala. Dan sangat mengherankanku, ibu itu duduk sendiri
tanpa seorangpun menemaninya. Setelah terlebih dulu memesan beberapa menu, aku
menghampirinya.
“Bu, boleh saya duduk di sini?”
“Oh, silahkan, nak. Kebetulan
memang kosong”, jawabnya sangat ramah.
“Terimakasih, Bu.”
Aku duduk di hadapan ibu yang
tetap terlihat asyik memandangi kue tart di depannya itu. Tatapannya seakan
menyembunyikan kesedihan. Kue tart bertulisan ‘Selamat Ulang Tahun, Dinda’
dengan lilin menunjukan angka 23 itu sedari tadi hanya ia pandangi. Lelehan
lilin pun perlahan menetes jatuh ke permukaan kue.
“Bu, apakah Ibu sedang menunggu
seseorang?”
“Iya, nak.”
“Kalau boleh saya tahu, Ibu
sedang menunggu siapa?”
Ia tidak langsung menjawab
pertanyaanku. Kami terdiam. Beberapa saat, suasana menjadi bisu. Hanya keriuhan
dan lalu lalang pembeli di toko saja yang terdengar.
“Putriku. Hari ini dia
berulangtahun, nak”, Ibu itu akhirnya menjawab.
“Lalu, kapan dia akan datang? Ibu
pasti telah lama menunggunya di sini. Sudah coba untuk dihubungi?”
Ibu itu tersenyum, kemudian
berkata, “Tidak, Nak. Ini tahun ketiga ibu merayakan ulang tahunnya sendiri
saja. Dia sudah meninggal tiga tahun lalu.”
“Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud
mengingatkan kesedihan itu.”
“Dulu, kami berdua selalu
merayakan ulangtahunnya di sini. Dia sangat suka kue tart dengan banyak
strawberry di atasnya. Sampai ketika Tuhan memberi takdir agar dia meninggalkan
ibu terlebih dahulu. Setiap tahun Ibu tetap merayakan ulang tahunnya, meskipun
tanpa kehadirannya. Tetapi ibu yakin dan bisa merasakan bahwa dia bahagia dan
tetap tertawa riang seperti biasa semasa dia hidup.”
Aku terharu. Tak terasa ada air
mata di pelupuk mataku yang sudah siap jatuh. Pantas saja sedari tadi ibu itu
terlihat bersedih. Tak bisa disembunyikan, meskipun ia berusaha terlihat tegar.
“Kenapa kau menangis?”
“Tidak, Bu. Aku hanya terharu
mendengarnya. Ibu pasti sangat menyayanginya, pun sebaliknya”, kataku sambil
mengusap air mataku.
“Ibumu juga pasti sangat menyayangimu,
kan?”
Aku mengangguk, kemudian tersenyum.
“Tidak ada orang tua yang tidak
menyayangi anaknya, nak. Apalagi seorang ibu. Dan melihat kematian anaknya
adalah cobaan terberat bagi orang tua. Jika boleh, Ibu akan meminta agar Ibu
terlebih dahulu yang dipanggil Tuhan. Tapi tak mungkin. Sudah takdirnya seperti
itu. Tak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan. Yang bisa kita lakukan hanya
menerima, bersabar dan ikhlas. Meskipun itu sangat berat.”
Aku bangun dari tempat dudukku,
mendekat ke arahnya kemudian memeluknya. Dia tak sungkan membalas pelukku. Pelukan
yang sangat hangat. Pelukan yang sebenarnya untuk Dinda.
0 komentar
Terima kasih atas komentarnya. :)