Sepulang kantor aku menyempatkan
diri mengunjungi toko kue favoritku. Hanya sekedar membeli beberapa potong kue
atau coklat hangat; seperti biasa. Sesampainya di sana, mataku bekerja
mencari tempat duduk kosong, namun tak ku temukan. Sampai ketika perhatianku
tersita ke satu sudut toko kue ini. Seorang ibu duduk dengan kue tart lengkap
dengan lilinnya yang menyala. Dan sangat mengherankanku, ibu itu duduk sendiri
tanpa seorangpun menemaninya. Setelah terlebih dulu memesan beberapa menu, aku
menghampirinya.
“Bu, boleh saya duduk di sini?”
“Oh, silahkan, nak. Kebetulan
memang kosong”, jawabnya sangat ramah.
Teruntuk, kamu.
Sepagi ini sedang apa kamu? Aku terbangun terlalu pagi dan ada yang menyeretku untuk membuat surat ini. Kau tidak marah kan aku membuatnya? Oiya, kenapa harus marah, tak ada alasan tepat untuk marah karena tulisan ini, kan?
Beberapa waktu lalu, banyak orang yang sering menanyakanmu padaku; terutama sahabat-sahabat jauh. Kau tau, mereka menganggap kita dekat, bahkan punya hubungan spesial. Aku hanya bisa tersenyum kala itu, dan tak disangkal, beberapa kali terucap 'aamiin' di setiap perkataan mereka terdengar atau terbaca olehku. Perkataan adalah doa, aku percaya itu. Terutama ketika mereka berkata bahwa kau baik, dan memintaku untuk jangan menyiakanmu. Meski awalnya, aku sendiri sempat bingung kenapa kau selalu dihubung-hubungkan denganku.
Perkenalan yang singkat, pertemuan awal yang tak direncanakan sebelumnya, dan hubungan yang tak sempat ku beri nama. Aku tak pernah percaya cinta pandangan pertama, dan seharusnya aku tak percaya kamu dari dulu. Atau, itu hanya persepsiku saja? Aku sempat menganggapmu mencintaiku. Hahaha. Aku sering mati suri termakan persepsiku sendiri. Untuk ini, sudah ku maafkan diriku sendiri.
Sepagi ini sedang apa kamu? Aku terbangun terlalu pagi dan ada yang menyeretku untuk membuat surat ini. Kau tidak marah kan aku membuatnya? Oiya, kenapa harus marah, tak ada alasan tepat untuk marah karena tulisan ini, kan?
Beberapa waktu lalu, banyak orang yang sering menanyakanmu padaku; terutama sahabat-sahabat jauh. Kau tau, mereka menganggap kita dekat, bahkan punya hubungan spesial. Aku hanya bisa tersenyum kala itu, dan tak disangkal, beberapa kali terucap 'aamiin' di setiap perkataan mereka terdengar atau terbaca olehku. Perkataan adalah doa, aku percaya itu. Terutama ketika mereka berkata bahwa kau baik, dan memintaku untuk jangan menyiakanmu. Meski awalnya, aku sendiri sempat bingung kenapa kau selalu dihubung-hubungkan denganku.
Perkenalan yang singkat, pertemuan awal yang tak direncanakan sebelumnya, dan hubungan yang tak sempat ku beri nama. Aku tak pernah percaya cinta pandangan pertama, dan seharusnya aku tak percaya kamu dari dulu. Atau, itu hanya persepsiku saja? Aku sempat menganggapmu mencintaiku. Hahaha. Aku sering mati suri termakan persepsiku sendiri. Untuk ini, sudah ku maafkan diriku sendiri.
Lelahkah kau melihatku menunggu tuanku?
Aku akan tunai menunggu, jikalau ia datang
dengan sekutum mawar putih di tangan kanannya.
Lalu setelahnya, aku ingin
ia menjadi satu-satunya yang menemaniku.
Dan takkan ia meminta ijin untuk pergi
dengan alasan apapun.
Kau ingat bukan?
Bahwa yang pergi mungkin takkan pernah kembali.
Tapi tidak denganmu.
Senja.
Kau pergi, ditelan sang malam.
Burung hantu yang lapar.
Manusia yang lelah dengan lalu-lalang di kepalanya.
Kau pergi, ditelan sang malam.
Istirahatlah, biar saja sang malam dengan gigilnya yang bisu
bertugas menjaga dan menemaniku menunggunya.
Aku akan tunai menunggu, jikalau ia datang
dengan sekutum mawar putih di tangan kanannya.
Lalu setelahnya, aku ingin
ia menjadi satu-satunya yang menemaniku.
Dan takkan ia meminta ijin untuk pergi
dengan alasan apapun.
Kau ingat bukan?
Bahwa yang pergi mungkin takkan pernah kembali.
Tapi tidak denganmu.
Senja.
Kau pergi, ditelan sang malam.
Burung hantu yang lapar.
Manusia yang lelah dengan lalu-lalang di kepalanya.
Kau pergi, ditelan sang malam.
Istirahatlah, biar saja sang malam dengan gigilnya yang bisu
bertugas menjaga dan menemaniku menunggunya.
Hello, happy people!
Pernah menemukan tempat baru yang dirasa sangat welcome terhadap kehadiran kita? Bagaimana rasanya? Bahagia? Ya! Pengalaman baru, pelajaran baru, dan kesenangan baru.
Sejak Januari lalu, saya resmi memutuskan untuk hijrah dari Purwokerto ke sana, ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Meski tak berdomisili di Jakarta, tapi rasanya menghabiskan waktu 5 hari dalam seminggu untuk bekerja di sana, cukup memberi saya kesan tentang bagaimana hiruk pikuk kota yang tak pernah sepi itu. 5 hari dalam seminggu selama kurang lebih satu setengah bulan, Tangerang - Jakarta setiap pagi dan malamnya. Bangun subuh, dan sudah harus di stasiun sebelum jam 6. Dan baru bisa sampai lagi di rumah paling cepat jam 8 malam. Dan sejak itu saya punya kebiasaan baru; ketinggalan kereta.
Kepada kata,
terimakasih telah merangkai diri menjadi puisi.
Kepada puisi,
terimakasih telah berhasil mewakili isi hati.
terimakasih telah merangkai diri menjadi puisi.
Kepada puisi,
terimakasih telah berhasil mewakili isi hati.
Tiga.
Dua.
Satu.
Aku menghitung mundur.
Tepat pukul dua dini hari, satu per satu isi kepalaku berhamburan.
Dua.
Satu.
Aku menghitung mundur.
Tepat pukul dua dini hari, satu per satu isi kepalaku berhamburan.
Kau bising.
Hanya dalam dirimu.
Hanya dengan dirimu.
Aku doakan semoga kau damai di dalam dirimu.
Hanya dalam dirimu.
Hanya dengan dirimu.
Aku doakan semoga kau damai di dalam dirimu.
Kupinang sendiri rindu-rinduku.
Sebab aku tak tega terus membiarkannya sendiri.
Ia akhirnya berteman.
Sebab aku tak tega terus membiarkannya sendiri.
Ia akhirnya berteman.
Yang tak lelah itu Tuhan.
Tak pernah ada keluh.
Meski tak pernah Ia menyempatkan waktu untuk diriNya.
Tuhan, mari sejenak menikmati senja dengan secangkir kopi.
Tak pernah ada keluh.
Meski tak pernah Ia menyempatkan waktu untuk diriNya.
Tuhan, mari sejenak menikmati senja dengan secangkir kopi.